Krisis iklim sebabkan kebakaran hutan besar-besaran.

Benarkah krisis alam parah setelah covid-19 ini? Statistik lingkungan menunjukkan gejala Bumi membaik selama pandemi Covid-19. Hal itu disebabkan adanya kebijakan untuk tidak melakukan aktivitas yang padat.

Tentu hal tersebut berakibat pada minimnya kegiatan manusia dengan faktor industriliasi, seperti kendaraan bermotor dan pabrik-pabrik. Beberapa akademisi mengatakan krisis iklim akan kembali menghantam bumi.  Kali ini Bicara Indonesia akan membahas benarkah krisis iklim parah setelah covid-19.

Bagaimana Covid-19 Berakibat pada Lingkungan?

Merebaknya pandemi Covid-19 ini membuat negara secara bijak menerapkan beberapa aturan untuk menekan penyebaran virus. Kebijakan tersebut membuat masyarakat menerapkan physical dan social distancing, dan membuat mereka untuk melakuka kerja dari rumah.

Langkah tersebut membuat bumi membaik. Bahkan, emisi karbon dunia mengalami penurunan paling besar sejak Perang Dunia II. Iklim yang membaik tersebut membuat masyarakat bernapas lega. Saat ini, kita dapat melihat kota-kota sangat bersih.

Misalnya, Sungai Venesia sangat jernih dan mulai muncul ekosistem air seperti ikan. Sungai Venesia bersih karena tidak adanya aktivitas pariwisata. Lalu, beberapa langit di kota metropolitan seperti Jakarta dan New York nampak bersih karena berkurangnya polusi udara.

Tetapi, bukan berarti kondisi iklim Bumi akan bertahan baik dalam waktu yang sangat lama. Ada beberapa hal yang perlu ditinjau untuk mempertahankan Bumi membaik bahkan setelah pandemi ini. Beberapa negara mulai mengendurkan aturan komitmen mereka terhadap lingkungan.

Krisis Iklim Setelah Covid-19?

Kondisi Bumi selama pandemi ini membaik. Hal itu dibuktikan dari pengamatan NASA dan European Space Agency. Wilayah industri Eropa dan Asia mengalami penurunan nitrogen dioksida hingga 40 persen selama Januari hingga Februari. Polusi udara di berbagai kota besar di Amerika Serikat berkurang 30 persen selama Maret 2020.

Krisis Iklim Setelah Covid-19?

Kabar baik bukan? Mungkin, bagi orang perkotaan di Jakarta, udara yang kita hirup saat ini adalah udara kualitas terbaik. Tetapi, pandemi Covid-19 bukan jawaban atas perbaikan iklim Bumi. Polusi akibat limbah di udara, air, dan tanah bisa kembali membuat krisis iklim jika pabrik-pabrik mulai beroperasi.

Berdasarkan laporan Human Right Watch, pandemi membuat beberapa negara mengendurkan komitmen untuk memperbaiki dan mengatasi krisis iklim. Contohnya, Tiongkok memperpanjang tenggat perusahaan untuk memenuhi standar lingkungan. Amerika Serikat tidak menghukum perusahaan yang gagal mematuhi aturan lingkungan.

Kemudian, ada Republik Ceko yang menganjurkan European Union untuk menanggalkan climate bill. Juga negara Brasil, badan lingkungan federal menyatakan pengenduran penegakan perlindungan lingkungan yang mencakup melindungi Amazon.

Dikhawatirkan jika kondisi tersebut dimanfaatkan oleh para pemimpin yang secara serampangan tidak menudukung adanya pengentasan krisis iklim. Kita bisa melihat sejarah, saat krisis finansial pada 2008 lalu, emisi karbon dioksida berkurang hingga 1,4 persen. Setelah krisis finansial, peningkatan masif emisi mencapai hingga 5,9 persen di tahun 2010. Hal itu dikarenakan adanya lambungan ekonomi setelah pandemi.

Krisis iklim yang kita alami saat ini memperparah kondisi lingkungan. Seperti yang dikutip dari Henry Fountain, Arktika mengalami percepatan pemanasan global 2,5 kali dibandingkan wilayah lainnya sejak 2019. Pemanasan tersebut berdampak pada wilayah-wilayah lainnya yang mengalami cuaca ekstrem.

Krisis iklim pun memperburuk kepunahan makhluk hidup di Bumi. Pasalnya, pemanasan global mencapai suhu yang sangat tinggi. Prediksi terburuknya, hampir seluruh spesies hewan juga terdampak pada kepunahan. Jika dunia berhasil mengendalikan pemanasan global di suhu 2 derajat celsius, maka spesies tersebut bisa selamat hingga 60 persen.

Krisis Iklim Sebabkan Berkembangnya Penyakit

Perubahan iklim menyebabkan peningkatan penyebaan sianida dalam bahan makanan. Sianida tersebut berjenis afloxotin yang muncul akibat adanya perubahan iklim. Sianida tersebut membuat kematian manusia di seluruh dunia. Aflotoxin muncul karena adanya sumber makanan yang tidak sesuai pada cuaca iklimnya.

Studi itu dikeluarkan oleh Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP). Misalnya, jagung yang seharusnya hidup dan tersimpan di daerah kering tetapi terkena lembap seperti banjir dapat memicu aflotoxin. Aflotoxin menyebabkan kanker biasanya muncul tumbuh di tanah, gandum, sayuran busuk, dan jerami.

Tidak hanya aflotoxin, ada berbagai penyakit yang muncul akibat adanya perubahan iklim. Perubahan iklim meningkatkan resiko persebaran penyakit yang semakin cepat. Misalnya, beberapa daerah yang terdampak kebakaran hutan akibat pemanasan global dapat terserang penyakit ISPA.

Ada pula lingkungan yang terdampak banjir besar akibat cuaca ekstrem dapat meningkatkan perkembangbiakan bakteri dan parasit. Bisa saja, ada mutasi virus yang baru. Nyamuk dan serangga parasit lainnya juga dapat berkembang biak dengan baik.

Parasit dan serangga tersebut dapat menyababkan malaria akibat infeksi parasit dari nyamuk Anopheles. Kemudian ada kolera, demam berdarah, pneumonia, hepatitis A, dan masih banyak penyakit lainnya.

Yang paling terdampak dan merasakan akibat buruk tersebut adalah masyarakat kelas bawah yang tidak dapat mengakses layanan kesehatan dan sanitasi yang baik. Untuk itu, kita perlu langkah pasti agar manusia dan makhluk hidup lainnya tidak terdampak krisis iklim.

Dunia juga perlu menerapkan aturan untuk pembangunan yang berdasarkan pada lingkungan. Agar pembangunan nantinya juga tidak merugikan masyarakat luas dan hanya menguntungkan sebagian orang saja.

Kesimpulan

Pandemi Covid-19 menyebabkan dampak negatif yang sangat terasa bagi ekonomi beberapa negara. Selain itu, dampak lainnya adalah iklim yang membaik. Beberapa negara mengalami dampak negatif dan positif.

Benarkah krisis iklim parah setelah Covid-19 juga berdasar dari beberapa negara mengendurkan komitmen untuk memperbaiki dan mengatasi krisis iklim. Contohnya, Tiongkok memperpanjang tenggat perusahaan untuk memenuhi standar lingkungan. Juga beberapa negara lainnya. Khawatirnya, hal itu dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki komitmen terhadap perbaikan iklim.

Sumber :

  • Kebangkitan Ekonomi Setelah COVID-19 Bisa Memperparah Krisis Iklim – Asumsi.
  • Lima Penyakit yang Semakin Berkembang Akibat Perubahan Iklim – National Geographic.
  • PBB: Perubahan Iklim Turut Sebarkan Penyakit Mematikan – Tirto.
  • How Covid-19 Could Impact the Climate Crisis – Human Right Watch.
  • Kondisi Bumi Membaik Selama Pandemi COVID-19, Bolehkah Kita Tenang? – National Geographic.

(Diakses 3 Mei 2020)